Porter Dwarawati, Jalur Patak Banteng Baru

https://www.facebook.com/share/1A8KsXYDcm/

 

 Tidak banyak yang mengetahui soal Kali Opak yang mengalir melintasi dua kabupaten di DIY. Sungai yang merupakan induk dari 10 sungai di Jogja ini ternyata memiliki banyak mitos, lho! Yuk, simak penjelasan di bawah ini.

Kali Opak atau Sungai Opak dengan panjang aliran sekitar 65 km ini memiliki hulu di Kecamatan Cangkringan, Sleman dan hilir di Kecamatan Sanden, Bantul. Sungai tersebut memiliki total 10 anak sungai, antara lain, Sungai Gendol, Sungai Tepus, Sungai Kuning, Sungai Code, Sungai Gajahwong, Sungai Belik, Sungai Tambakbayan, Sungai Nongko, Sungai Oyo, dan Sungai Winongo.

Mengutip dari laman resmi BMKG, terdapat patahan di sekitar aliran Sungai Opak yang bernama Sesar Opak. Aktivitas dari sesar tersebut adalah penyebab gempa bumi hebat pada 2006 silam yang memakan lebih dari enam ribu jiwa.

Fungsi Kali Opak
Bagi masyarakat sekitarnya, Sungai Opak memiliki peran yang signifikan sebagai ekosistem sungai yang besar dan berperan sebagai pendukung kehidupan masyarakat serta pembangunan di wilayah tersebut.

Masyarakat menggunakan Sungai Opak sebagai sumber untuk keperluan sehari-hari, seperti kegiatan penambangan pasir dan memancing. Selain itu, sungai ini juga dimanfaatkan oleh penduduk untuk mencari kayu yang terbawa arus banjir dari daerah hulu.

Mitos Kali Opak

Disadur dari buku Keistimewaan Yogyakarta dalam Perspektif Mitologi yang ditulis oleh Paniradya Kaistimewan Yogyakarta, ada beberapa mitos yang melingkupi Kali Opak. Apa saja?

1. Mandi di Tempuran Sungai Opak dan Sungai Gajahwong
Tempuran adalah tempat di mana dua sungai bertemu dan bergabung membentuk sebuah sungai utama. Dikisahkan Sultan Agung memberikan titah kepada seseorang untuk mencari sumber air suci. Orang itu pun ditemani oleh sejumlah teman pria dan teman wanitanya. Selama mencari mata air yang dimaksudkan, mereka harus melewati banyak rintangan, salah satunya menyeberangi tempat bertemunya dua sungai atau tempuran.

Menghindari basahnya air, para wanita pun mengangkat pakaian bawah mereka sehingga terlihat betisnya. Para pria pun akhirnya melirik dan terjadi saling ejek-mengejek di antara mereka. Namun, inilah yang menumbuhkan rasa suka satu sama lain hingga pada akhirnya mereka menemukan sumber air di lereng Gunung Permoni yang berada di selatan tempuran.

Berangkat dari cerita di atas, konon dipercaya jika ingin cepat bertemu jodohnya, orang-orang dapat mengunjungi tempuran ini untuk mandi dan berdoa kepada Tuhan supaya jodohnya lekas didekatkan. Mitos ini masih banyak dipercaya oleh sebagian warga Pleret, Bantul.

2. Lampor Kali Opak
Dalam mitos Jawa, lampor divisualisasikan sebagai keranda terbang. Kisah yang satu ini telah banyak diketahui oleh warga sekitar aliran Sungai Opak. Namun dalam cerita versi ini, lampor dianggap sebagai prajurit Kraton Laut Kidul dan prajurit Kraton Merapi yang sering melintasi Sungai Opak.

Dikisahkan terdengar suara gemerincing ketika para prajurit melewati Sungai Opak. Karena mitos lampor ini, biasanya anak-anak dilarang keluar rumah menjelang waktu maghrib atau waktu-waktu ketika 'lampor' lewat.

Konon, lampor datang untuk mencari manusia yang akan dijadikan prajurit tambahan. Mitos juga menyatakan bahwa menyebut nama lampor di luar rumah dapat membawa bahaya. Cerita ini pun menciptakan kekhawatiran di kalangan masyarakat sehingga orang-orang berusaha cepat pulang saat mendengar suara lampor.

3. Bersatunya Sungai Opak dan Sungai Progo
Mitos yang terakhir berasal dari ramalan Jayabaya atau Sunan Kalijaga yang mengatakan bahwa Jogja akan makmur jika Kali Opak dan Kali Progo bertemu dalam satu aliran. Meskipun kenyataannya, kedua kali tersebut berada pada sisi yang berlawanan.

Namun, Sultan Hamengku Buwono IX memutuskan untuk mengatasi tantangan ini dengan kecerdasannya. Saat Jepang menjajah dan menerapkan sistem kerja paksa, Sultan HB IX memutuskan agar rakyat Jogja bekerja untuk kota mereka sendiri.

Dengan menciptakan Selokan Mataram yang membentang dari Sungai Progo ke Sungai Opak sehingga air dari Sungai Progo digunakan untuk mengairi sawah di Jogja. Hal ini pun membuat kota tersebut menjadi subur dan makmur.

Sebagai informasi, mulanya saluran ini dinamai Kanal Yoshihiro oleh pemerintah Jepang yang merujuk pada Jenderal Shimazu Yoshihiro. Akibat taktik dari Sultan, ia berhasil melindungi rakyatnya dari romusha dan juga membuat daerahnya lebih subur melalui Selokan Mataram.

Posting Komentar

0 Komentar

Editors Pick

4/recent/post-list

Follow Us On Instagram

Costumer Service

Hubungi kami di nomor +6285 643 455 685

Chatt Admin